Berwujud Salib, Melemahkan Iman?

Pernah gak sih, kalian melihat kritikan, saran atau tanggapan terhadap suatu hal? Contohnya seperti situasi yang gempar beberapa hari lalu.

Tulisan ini diangkat dari fenomena yang terjadi beberapa hari lalu, terdapat beberapa orang yang memprotes mengenai penyusunan bentuk logo HUT RI tahun ini. Dikarenakan penyusunannya menyerupai salib itulah yang menjadi penyebab beberapa orang mengkritik keras. 

17 Agustus, merupakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Di tahun 2020 ini, Indonesia berulang tahun yang ke 75. Tiap tahun, logo perayaan HUT selalu berubah, selain design yang menarik, setiap logo pastinya mempunyai arti yang bermakna. 

Mari kita telusuri lebih jauh, kenapa harus dikritik hanya dengan terlihat sekilas berbentuk salib seperti itu?

Kalau ada bentuk salibnya kenapa? Toh itu sudah komposisi design dari para ahli, pastinya mereka punya persepsi yang mempunyai makna dan arti. Kalau nanti logonya ada bentuk Allah, nanti dikritik juga, sama saja dan tak ada bedanya. 

Kenapa hanya dengan bentuk salib seperti itu kita harus mengkritiknya secara instan tanpa mencari tahu lebih dalam? Kenapa seperti itu? Apa iya dengan logo seperti itu dan sejenisnya serta adanya simbol-simbol lain di luar agama yang kita anut akan mempengaruhi keimanan dan ketaqwaan kita? Bukankah logo itu juga dapat bermakna bahwa kita adalah bangsa yang kaya akan perbedaan? Bukankah simbol hanyalah sekedar benda? Bukankah takwa dan iman yang sesungguhnya sejatinya berasa di hati tiap manusia? Mari kita bahas. 

Dalam KBBI, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Berbicara tentang keimanan, apa definisi dari iman itu? Dalam KBBI, iman berkaitan erat dengan kepercayaan, ketetapan hati, keteguhan batin, keseimbangan batin. Iman berkaitan erat dengan segala hal yang ada di hatimu. Sedangkan dalam KBBI, makna simbol berkaitan erat dengan lambang, tanda dan atribut. Islam dengan lambang bulan sabit dan bintangnya, Kristen, Katolik dengan salibnya, dan begitupun juga dengan agama-agama lain. 

Sebagai suatu sistem, itu berarti aturan-aturan di dalam agama hendaknya menjadi sebuah kaidah sebagai wujud penerapan nilai dan perilaku pemeluknya di dalam kehidupan, sebagai bentuk keyakinan, keteguhan hati dan batin, seharusnya agama selalu ada di hati tiap pemeluknya di manapun ia berada, di tempat baik dan tempat yang terlihat buruk-pun. Pun juga meski ia menjadi seorang mayoritas atau minoritas di lingkungan tertentu, seharusnya tidak masalah. Karena Tuhan selalu ada di dalam hatinya. 

Seseorang dengan agama dan iman yang kuat pasti selalu meletakkan iman pada Tuhan di dalam hatinya. Tutur katanya, perilakunya, akan mewujudkan seorang manusia beriman yang mengasihi sesamanya, sebagai perwujudan bahwa ia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Baik, lagi Pengasih dan Penyayang. Namun sayangnya, dalam praktek kehidupan sosial bermasyarakat simbol-simbol keagamaan lebih dipentingkan daripada nilai ajaran agama itu sendiri. Sudah berapa banyak fenomena terjadi yang mengakibatkan konflik antar-agama dan bangsa? Permasalahan segitiga di masjid yang langsung dianggap sebagai simbol dajjal. Simbol metal yang katanya berarti simbol setan. Orang-orang yang gampang panas melihat simbol salib hingga ada saja ulah mereka untuk mengaitkan semua hal di sekitar dengan salib. Mereka seolah parno, takut imannya goyah dan runtuh hanya dengan melihat simbol agama lain. Dan mirisnya, gagasan pertama penobatan simbol-simbol itu berasal dari seorang yang dikenal religius. Begitu mirisnya lagi, ucapan itu keluar dari seseorang yang merupakan masyarakat mayoritas di negara ini, yang di mana sebagai mayoritas, urusannya dalam beribadah kepada Tuhannya lebih mudah. 

Menjadi manusia ialah dengan mengasihi manusia lain, maka tidak etis rasanya melontarkan kata-kata yang membuat hati manusia lain sakit. Gus Dur pernah ditanya tanda-tanda orang yang keras hati. Beliau menjawab, “Saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh, tapi saat membaca alquran tak sedikit pun hatimu tersentuh”

Jika memang agama hanyalah sekedar simbol, tidak akan ada banyak kajian untuk memperdalam pemahaman terhadap agama, jika agama hanyalah sekedar simbol, kita akan menjadi manusia apatis yang tidak peduli terhadap sesama, karena yang penting kamu memakai peci, yang penting kamu memakai salib, yang penting kamu sudah memakai atribut dan simbol agama itu maka kamu sudah disebut sebagai umat agama yang baik. Apakah benar begitu? Nyatanya tidak. Agama bukan itu. Agama bukanlah sekedar simbol, ia merupakan cahaya, karena ia cahaya maka letaknya adalah di hati. Tuhan di dalam agamamu seharusnya kamu letakkan di dalam hatimu. 

Penulis percaya, bahwa kasih sayang dan rahmat Tuhan lebih besar daripada simbol-simbol itu. Simbol hanya sekedar simbol. Simbol yang ada dalam agama hanyalah atribut dan wujud dari ego manusia. Maka, Tuhan tidak berada di simbol apapun, keimanan ada di hati, maka dengan kuatnya iman, simbol apapun tidak akan pernah mempengaruhi iman seseorang. 

Syekh Abdul Qadir Al-Jailany pernah memberikan sebuah nasihat,

“Setiap hati anak manusia dikelilingi oleh seribu berhala dalam hatinya, ego dan angan-angan kadang disembah, tanpa menyadari bahwa Tuhan telah disingkirkannya dengan berhala yang bernama ego dan angan-angan.”

Maka berbahagialah setiap orang yang tidak diributkan dengan simbol-simbol, tidak goyah imannya dengan apa yang ia lihat dengan kedua mata dan ia dengar dengan dua telinganya. Karena Tuhan sudah berada di dalam hatinya. 



by Muhammad Nugroho Suryo Utomo dan Rena Andria Rahma 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cintai Dirimu, Manusia Sekelilingmu dan Takdirmu – Implementasi Aktualisasi Diri Maslow

Seseorang yang Gak Setia, Apa Benar Harus Disebut Dengan Buaya?

‘Sesuatu’ di Malam Jumat Kliwon