Seseorang yang Gak Setia, Apa Benar Harus Disebut Dengan Buaya?

Tiga bulan yang lalu kami berdua sempat ngobrol dengan dibuka pertanyaan sekaligus penguatan pendapat seperti ini, “Kenapa buaya diidentikkan dengan seseorang yang gak setia, idung belang dan brengsek? Padahal buaya sendiri termasuk dalam golongan hewan yang setia.” Satu jam berlalu hingga kesepakatan bersama disetujui, menjadi kesimpulan dari obrolan random ini haha.

Sebenarnya, penulis masih bingung dengan analogi manusia dengan berbagai binatang, terlebih lagi analogi itu bermakna negatif. Bagaimana ya asal-usul dari pelabelan itu? Karena tidak peduli hal-hal besar atau kecil, setiap akibat pasti ada sebabnya. Mispersepsi dalam dunia binatang, begitu kami menyebutnya. Kenapa anjing diidentikkan dengan seseorang yang biadab, brengsek dan bajingan, menjadi suatu kata makian banyak orang dengan berbagai bahasa di daerahnya. Padahal anjing adalah hewan yang setia terhadap sang majikan, sangat perasa, bisa diandalkan, periang dan semangat. Seperti buaya yang diasumsikan sebagai seorang hidung belang, buaya jantan untuk laki-laki dan buaya betina untuk perempuan. Orang-orang mengasumsikan kata buaya kepada seseorang yang bicara seperti gambar di bawah ini.



Tulisan kali ini tidak akan membahas tentang asal mula mispersepsi itu, tidak pula menjelaskan bagian kenapa anjing menjadi makian seluruh jagat Indonesia. Tulisan ini lebih membahas ke dalam topik si buaya sendiri. Apa benar seseorang yang gak setia, brengsek, bajingan dan penyebutan-penyebutan lainnya harus disebut dengan kata buaya?

Berdasarkan studi kepustakaan kami, buaya merupakan salah satu hewan yang setia. Umurnya panjang dan dengan umur yang panjang itu, ia akan menikah sekali seumur hidupnya, tidak berganti-ganti pasangan dan jika pasangannya mati, ia tidak akan kawin lagi. Sifat buaya sungguh berbeda bukan dengan asumsi pelekatan label buaya terhadap seseorang yang brengsek itu? Tentu kita pernah mengenal adanya roti buaya dalam sebuah seserahan pernikahan, coba kita pikir, kenapa harus roti buaya? Kenapa bukan yang lain? Pernikahan adalah momen yang sakral dan buaya menjadi sebuah lambang di sana, menunjukkan dengan jelas bahwa buaya merupakan hewan yang setia, mempelai seolah disuruh mencontoh kesetiaan buaya terhadap pasangannya. Suami yang setia bagi sang istri, dan istri yang setia bagi si suami. Buaya yang hidup di dua tempat juga menjadi lambang bahwa pernikahan antara suami istri diharapkan dapat berjalan dengan flexible, diharapkan suami dan istri dapat beradaptasi di manapun mereka berada. Lalu dari mana kesalahan persepsi ini muncul? Ada beberapa referensi yang kami temukan.

1) Cerita rakyat dari Jember yang konon terjadi di tahun 1971, di mana terdapat sebuah penangkaran buaya yang salah satu buayanya hilang dan menggegerkan masyarakat, ternyata buaya tersebut ditemukan sedang berada di daerah tanah kering bersama buaya betina yang masih muda. Ah, malangnya nasib buaya kini, gara-gara kesalahan satu buaya saja mereka semua langsung dilabeli sebagai hewan yang tidak setia.

2) Legenda Baltazur, sang buaya darat dari Riau, diceritakan bahwasannya si buaya Baltazur ini sering memangsa gadis-gadis muda, namun herannya gadis-gadis tersebut ditemukan dengan badan masih utuh namun keperawanannya yang hilang.

3) Dalam sebuah buku di abad ke-14 yang berjudul "The Voyage and Travel" karya "Sir John Madeville" yang di dalamnya mendeskripsikan buaya sebagai ular panjang yang suka berendam di air di malam hari dan bersembunyi di goa di siang hari, suka membunuh manusia dan memakannya sambil menangis. Dari sini muncul istilah air mata buaya, yang berarti air mata palsu, kemudian beredar pula dongeng-dongeng tentang buaya yang suka menipu atau pura-pura menangis. Beberapa mengaitkan hal ini dengan istilah lelaki buaya darat yang suka menipu wanita dengan air mata palsu.

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa buaya bukan hewan yang tidak setia, brengsek, bajingan dan sebutan lainnya, melainkan merupakan hewan yang sangat setia kepada pasangannya. Dari data yang ditemukan penulis, ada beberapa hewan yang memang tidak setia dengan pasangannya (suka berganti-ganti pasangan) monyet bonobo, gajah laut, lumba-lumba, kucing, walrus, dan masih banyak lagi. Monyet bonobo bergonta-ganti pasangan dengan guna untuk menurunkan stress, memperkuat komunitas dan menciptakan suasana damai. Monyet bonobo atau simpanse bonobo banyak ditemukan di daerah Kongo, mereka bisa kawin dengan pasangan yang berbeda-beda, sungguh tukang selingkuh :') Eitss, tapi ini kan hewan, dilihat bahwa hewan saja memiliki alasan untuk melakukan hal itu, yakni demi keseimbangan hidupnya, lalu, apa alasan manusia brengsek itu melakukannya? Just for her/him fun, right? -_-

Manusia dan hewan itu jelas berbeda. Manusia mempunyai akal sedangkan hewan tidak. Jadi, jika manusia yang notabene memiliki akal masih tidak menggunakan akalnya dengan baik untuk membedakan hal baik dan buruk, bukankah kita lebih parah dari hewan yang jelas tidak memiliki akal? So, daripada memanggil manusia brengsek dengan sebutan hewan, kenapa tidak menyalahkan manusia brengsek itu atas sifat kemanusiaannya sendiri dengan tidak membawa-bawa nama hewan? Alih-alih menyebutnya dengan hewan, kenapa tidak langsung memanggil mereka dengan sebutan brengsek, bajingan dan lainnya. 

Jadi, jangan salahkan buaya terus ya. Kasihan jika buaya terus menerus diibaratkan dengan seseorang yang brengsek, padahal faktanya tidak begitu. Tetapi, jika kalian memang lebih merasa puas dan nyaman menggunakan kata hewan sebagai sebutan seseorang yang brengsek tadi, bagaimana kalau kita menggunakan nama hewan yang jelas faktanya tidak setia daripada buaya yang jelas setia? Haha.

Jadi, ayo kita ganti kata, “Dasar kamu buaya!” dengan sebutan “Dasar brengsek! bajingan! biadab!” atau, “Dasar kamu monyet bonobo! walrus! gajah laut! lumba-lumba!” dan penyebutan hewan-hewan dalam fakta tidak setia lainnya. Kami sadar bahwa pelekatan label nama buaya susah untuk langsung dihilangkan dan diganti dengan kata lain, tapi setidaknya, setelah membaca tulisan ini, pembaca jadi tahu, bahwa buaya adalah hewan yang setia, tidak seperti orang-orang bajingan di luar sana. Hidup buaya! Haha.


By Muhammad Nugroho Suryo Utomo dan Rena Andria Rahma


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cintai Dirimu, Manusia Sekelilingmu dan Takdirmu – Implementasi Aktualisasi Diri Maslow

‘Sesuatu’ di Malam Jumat Kliwon